Tolong Hentikan Ustadz, Kemudian Ibu Ini Menangis Sekeras-Kerasnya. Apa yang Terjadi
Sebagian dari Anda pasti terpancing dengan judul seakan sudah
terjadi sesuatu antara ustadz dengan seorang Ibu. Sebagai pembaca yang cerdas
jika membaca judul seperti itu pasti menambah kuat rasa penasaran untuk
membacanya lebih lanjut.
Nah, pada artikel kali ini tidak maksud menjebak para sahabat
semua. Ini merupakan sebuah kisah tentang hakikatnya seorang perempuan terutama
bagi perempuan yang sudah menikah. Nyatanya banyak perempuan yang sudah menikah
tidak seperti yang di inginkan. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca kisah
berikut ini yang dilansir 9reportase.blogpot.com.
Ilustrasi perempuan menangis |
“Tahun 2010, saya melakukan survey dengan bertanya kepada
beberap perempuan bekerja. Pertanyaan saya sangat sederhana, “Bu, bagaimana
perasaan ibu dengan kondisi ibu bekerja saat ini, lebih merasa cukup dengan
suami saja bekerja atau merasa lebih cukup dengan ibu ikut bekerja ?
90% perempuan bekerja menjawab, “Saya merasa cukup dengan
hanya suami saja yang bekerja ketimbang saat ini saya ikut bekerja.”
Para istri yang saya survei itu mengaku justru
dengan dirinya bekerja, utang keluarga justru bertambah, padahal niat awalnya
agar utang suami tidak bertambah parah. Dulu semua yang diinginkan selalu bisa
terpenuhi tapi dengan ikut bekerja menjadi selalu kurang, tidak ada yang cukup.
Setelah para istri ini curhat tentang kondisinya,
lalu saya bertanya kepada, “Ibu tahu tidak penyebab mengapa dulu saat suami ibu
yang bekerja semuanya tercukupi dan sekarang ibu bekerja justru selalu kurang ?”
Ibu-ibu itu menggeleng. Mereka hanya heran
harusnya dengan ikut bekerja kebutuhan rumah tangga menjadi lebih dari cukup.
Saya sampaikan begini kepada ibu-ibu
itu :
Keberkahan rezki
ibu telah hilang, ibu-ibu tahu mengapa hilang ? Begini, dulu saat suami ibu saja
yang bekerja ibu masih sempat mengurus anak-anak berangkat sekolah. Ibu masih
sempat membangunkan suami untuk shalat malam. Ibu masih sempat membuatkan
sarapan untuknya. Dan ketika suami ibu pulang kerja, ibu sudah cantik berdandan
rapi untuk menghilangkan kelelahan suami ibu sore itu. Ibu masak yang terenak
untuk suami dan masih sempat membacakan dongeng untuk anak-anak ketika akan
tidur dan masih “fresh” saat suami ibu mengajak bercinta.
Tapi saat ibu bekerja saat ini, ibu lebih awal
kan berangkat dari suami? Karena ibu masuk jam 7 pagi karena khawatir terlambat
dan jauh ibu berangkat jam 5.30 padahal barangkali suami baru saja mandi.
Anak-anak belum terurus baju sekolahnya, bahkan bisa saja di antara mereka
nggak ada yang sarapan karena Ibu lupa menyediakan. Iya kan bu ?’ Kata saya
kepada mereka.
Di antara ibu-ibu yang bekerja ini mulai
menangis. Saya meminta izin untuk meneruskan taujih di sore itu.
“Dan ketika suami ibu pulang, ibu belum pulangkan karena ibu
diminta lembur oleh boss ibu di pabrik. Ketika suami sudah ada di rumah jam 5
sore, ibu masih berkutat dengan pekerjaan sampai jam 8 malam. Suami ibu bingung
ke mana dia mengadukan ceritanya hari itu dia mencari nafkah. Anak-anak ibu
belum mandi bahkan bisa saja di antara mereka ada yang tidak shalat Maghrib,
karena tidak ada yang mengingatkannya. Kemudian mau makan akhirnya makan
seadanya, hanya masak mie dan telur karena hanya itu yang mereka mampu masak.
Suami ibu hanya makan itu bahkan hampir tiap
malam, sedangkan ibu baru pulang jam 9 sampai di rumah di saat anak-anak ibu
sudah lelah karena banyak bermain, bahkan di antara mereka masih ada yang bau
karena nggak mandi. Suami ibu terkapar tertidur karena kelelahan, karena suami
ibu menunggu kedatangan ibu. Kondisi ibu juga lelah, sangat lelah bahkan, ibu
bahkan berbulan-bulan tidak bisa berhubungan intim dengan suami karena
kelelahan….”
Ibu bekerja untuk menambah keuangan keluarga tapi
ibu kehilangan banyak hal. Hal-hal yang pokok menjadi tidak selesai. Hal-hal
yang ibu kerjakan di pabrik juga tidak maksimal karena hati ibu sedih tidak
punya kesempatan mengurus suami dan anak-anak. Pakaian suami dan anak-anak
kumal, kuku anak-anak panjang, rambut anak-anak gondrong dan tak terurus.
Ibu-ibu itu semakin kencang menangisnya, di antara mereka
mengatakan “Hentikan ustadz, aku tak tahan lagi, hentikan”, sang ibu itu
memeluk teman yang di sebelahnya dan menangis.
Sore itu saya berusaha menyampaikan kewajiban saya
sebagai pendakwah. Katakan yang benar itu walaupun harus membuat hati sedih. Di
penutup saya menyampaikan, “Tidak ada larangan buat ibu bekerja dengan satu
syarat, tugas pokok ibu tidak ada masalah, tidak ada hak-hak suami dan
anak-anak yang berkurang yang dapat menyebabkan ketidak berkahan uang yang ibu
dapatkan dari bekerja. Pastikan itu semua tidak ada masalah dan bekerjalah
setelah itu”
Adzan Maghrib sore itu menghentikan ceramah saya
di sela tangis ibu-ibu yang ingin segera pulang untuk bertemu dengan suami dan
anak-anak mereka.
Sahabat renungan Islam kiranya dapat menjadi pelajaran bagi
kita semua dan bisa mengambil hikmahnya. Khususnya perempuan (terutama yang
sudah menikah) perhatikan keadaan dan tugas seorang istri terhadap suami dan
juga tugas seorang ibu terhadap anak-anak. Semoga sahabat semua selalu mendapat
berkah dan rahmat dari Allah SWT. Amin. Jazakumullah