Apa yang Harus Dilakukan Jika Perempuan Muslimah Jatuh Cinta Pada Laki-Laki. Berikut Jawaban Ustadz
Jika seorang Muslimah merasakan hatinya jatuh cinta kepada seorang
laki-laki, maka selama ada jalan
hendaknya diusahakan untuk menikah dengannya. Jika tidak ada jalan yang
memungkinkan menikahinya, maka muslimah tersebut wajib Shobr (tabah hati),
sampai Allah menggantikan dengan lelaki yang lebih baik, atau Allah “menyembuhkannya” dari “sakit”
cinta tersebut, atau Allah mewafatkannya. Inilah solusi yang lebih dekat dengan
petunjuk Nash-Nash Syara’ dan lebih menjaga kehormatan serta dien Muslimah
tersebut.
Jatuh cinta kepada lawan
jenis, dari segi jatuh cinta itu sendiri bukanlah aib dan juga bukan dosa.
Jatuh cinta adalah hal yang manusiawi dan menjadi naluri yang ada secara
alamiah pada setiap manusia normal. Nabi, orang suci, orang shalih, dan ulama
mengalami jatuh cinta kepada lawan jenis sebagaimana manusia pada umumnya.
Rasulullah cinta kepada Khadijah dan Aisyah, ibnu Umar cinta yang sangat kepada
istrinya, Ibnu Hazm cinta pada wanita yang sampai membuatnya menjadi ulama
besar, Sayyid Quthub mencintai wanita namun gagal menikahinya, dll semuanya
adalah contoh bagaimana perasaan itu adalah perasaan yang normal, wajar,
natural, dan biasa.
Adapun mengapa orang yang
jatuh cinta perlu mengusahakan menikah dengan orang yang dicintai, maka hal
tersebut dikerenakan Syara’ menunjukkan bahwa solusi cinta terhadap lawan jenis
adalah dengan menikah dengannya. Di zaman Rasulullah SAW ada seorang lelaki
yang jatuh cinta setengah mati dengan seorang wanita. Lelaki tersebut bernama
Al-Mughits dan wanitanya bernama Bariroh.
Rasulullah SAW yang mengetahui cinta tersebut merekomendasikan kepada
Bariroh agar berkenan menikah dengan Al-Mughits. Rekomendasi Rasulullah SAW ini
menunjukkan bahwa solusi jatuh cinta adalah menikah.
Bukhari meriwayatkan; Dari
Ibnu Abbas bahwasanya suami Bariroh adalah seorang budak. Namanya Mughits. (setelah keduanya bercerai)
Sepertinya aku melihat ia selalu menguntit di belakang Bariroh seraya menangis
hingga air matanya membasahi jenggot. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Wahai Abbas, tidakkah kamu ta’ajub akan kecintaan Mughits terhadap
Bariroh dan kebencian Bariroh terhadap Mughits?” Akhirnya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pun bersabda: “andai saja kamu mau meruju’nya kembali (menikah
dengannya).” Bariroh bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menyuruhku?” beliau menjawab, “Aku hanya
menyarankan.” Akhirnya Bariroh pun berkata, “Sesungguhnya aku tak butuh sedikit
pun padanya.” (H.R. Bukhari)
Pernah juga ada kejadian,
seorang lelaki yang mencintai seorang wanita dan wanita tersebut mencintai
lelaki itu. Lalu keduanya ingin menikah, namun dihalang-halangi oleh kakak
wanita tersebut. Ternyata Allah melarang sikap sang kakak dan memerintahkan agar
menikahkan mereka berdua. Kisah ini juga menunjukkan bahwa jatuh cinta antara
dua anak manusia solusinya tetap dikembalikan pada pernikahan selama masih
memungkinkan. Bahkan Allah mencela sikap menghalang-halangi pernikahan jika
kedua belah pihak telah saling ridha.
At-Tirmidzi meriwatkan
kisahnya; Dari Ma’qil bin Yasar bahwa pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, dia menikahkan saudarinya dengan seorang lelaki dari kaum muslimin,
lalu saudarinya tinggal bersama suaminya beberapa waktu, setelah itu dia
menceraikannya begitu saja, ketika masa Iddahnya usai, ternyata suaminya cinta
kembali kepada wanita itu begitu sebaliknya, wanita itu juga mencintainya,
kemudian dia meminangnya kembali bersama orang-orang yang meminang, maka Ma’qil
berkata kepadanya; hai tolol, aku telah memuliakanmu dengannya dan aku telah
menikahkannya denganmu, lalu kamu menceraikannya, demi Allah dia tidak akan
kembali lagi kepadamu untuk selamanya, inilah akhir kesempatanmu.” Perawi
berkata; “Kemudian Allah mengetahui kebutuhan suami kepada istrinya dan
kebutuhan isteri kepada suaminya hingga Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan
ayat: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya.” QS Al-Baqarah: 231 sampai ayat “Sedang kamu tidak Mengetahui.”
Ketika Ma’qil mendengar ayat ini, dia berkata; “Aku mendengar dan patuh kepada
Rabbku, lalu dia memanggilnya (mantan suami saudarinya yang ditolaknya tadi)
dan berkata; “Aku nikahkan kamu dan aku muliakan kamu.” (At-Tirmidzi)
Rasulullah SAW sendiri
bahkan mengajarkan kepada kita bahwa menikah adalah obat yang paling mujarab
bagi dua orang yang saling mencintai.
Ibnu Majah meriwayatkan; Dari
Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kami
belum pernah melihat (obat yang mujarab bagi ) dua orang yang saling mencintai
sebagaimana sebuah pernikahan.” (H.R.Ibnu Majah)
Nash-Nash ini, dan yang
semakna dengannya menunjukkan bahwa menikah adalah solusi Syar’i bagi orang
yang jatuh cinta.
Oleh karena itu seorang
muslimah yang jatuh cinta kepada seorang lelaki bisa memulai mengusahakan menikah
dengan lelaki tersebut dengan cara menawarkan dirinya untuk dinikahi. Cara ini
lebih tegas, Syar’i, solutif, dan terhormat. Menawarkan diri kepada lelaki
untuk dinikahi bukan perbuatan hina dan tercela. Justru wanita yang menawarkan
dirinya kepada seorang lelaki adalah wanita yang mengerti solusi Syar’i
terhadap problemnya, tegas dalam mengambil keputusan, terhormat karena tahu
cara menjaga kehormatannya dengan ikatan pernikahan yang suci, dan mulia
karena mengetahui kepada siapa dia harus
mempersembahkan bakti. Khadijah adalah contoh wanita mulia yang tahu persis
kepada siapa beliau mempersembahkan bakti, dan siapa yang pantas jadi imamnya
dalam rumah tangga. Dengan ketegasan sikap beliau, maka Khadijah mendapatkan
lelaki yang terbaik di alam ini. Justru sikap yang menjauhi ketakwaan jika
seorang wanita mencintai seorang lelaki, lalu perasaan tersebut dipendamnya
seraya mengotori hatinya dengan
angan-angan tercela. Sesungguhnya angan-angan hati ada yang terkategori dosa
sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis dibawah ini;
Dari Ibnu Abbas dia berkata;
‘Saya tidak mengetahui sesuatu yang
paling dekat dengan makna Lamam (dosa dosa kecil) selain dari apa yang telah
dikatakan oleh Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
“Sesungguhnya Allah `Azza Wa Jalla telah menetapkan pada setiap anak cucu Adam
bagiannya dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari.
Maka zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan
zinanya hati adalah berangan-anga dan
berhasrat, namun kemaluanlah yang (menjadi penentu untuk) membenarkan hal itu
atau mendustakannya.” (H.R.Muslim).
Wanita yang menawarkan diri
lebih tegas dan jelas sikapnya. Jika hal tersebut bisa berlanjut ke pernikahan,
maka hal itu kebahagiaan baginya, namun jika tidak mungkin berlanjut, sikapnya
juga sudah jelas dan tinggal menyelesaikan problem sisanya. Wanita yang
memendam rasa sambil berfantasi justru
berpeluang untuk lebih menderita dan dekat dengan pelanggaran Syara’, kecuali
wanita-wanita yang dirahmati Allah SWT.
Terkait teknis melakukannya,
maka wanita bebas memilihnya diantara berbagai cara yang dianggap paling mudah.
Bisa melalui perantara atau langsung dirinya sendiri. Bisa secara lisan, bisa
juga melalui tulisan. Bisa sekedar memulai untuk menawarkan atau langsung
memulai dengan lafadz pinangan.
Hanya saja, solusi menikah
ini tidak bermakna bolehnya memaksa lelaki untuk menikahinya. Hal itu dikarenakan memilih istri adalah hak
lelaki yang merupakan pilihan baginya. Sebagaimana wanita berhak memilih calon
suami, maka lelaki juga berhak memilih calon istri manapun yang dikehendakinya.
Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa lelaki wajib menikahi wanita yang
mencintainya. Kisah cinta Al Mughits kepada Bariroh menunjukkan hal tersebut.
Betapapun Al-Mughits sangat
mencintai Bariroh, dan Nabi juga merekomendasikan Bariroh untuk menikah dengan
Al-Mughits, namun Nabi tidak memaksa Bariroh untuk menikah dengan Al-Mughits.
Namun, jika cinta itu memang sangat kuat (cinta setengah mati), memang dianjurkan pihak yang dicintai
menikahinya sebagai bentuk rohmah, meskipun dia sendiri belum mencintainya.
Jika pihak yang dicintai
belum berkenan menikahi dan tertutup
semua jalan/kemungkinan untuk menikahi, maka tidak ada jalan bagi muslimah
tersebut selain Shobr (tabah hati). Hal itu dikarenakan Syara’ memerintahkan Shobr pada semua bentuk
musibah yang menyedihkan hati secara mutlak dan berjanji memberikan ganjaran
yang besar atasnya. Shobr ini terus dilakukan sambil berdoa sampai Allah
memberikan ganti lelaki yang lebih baik, atau Allah menghilangkan perasaan
tersebut, atau Allah mewafatkannya.
Dengan cara penyikapan seperti
ini, maka seorang muslimah akan senantiasa dalam keadaan beramal. Mendapat
nikmat suami bisa beramal Syukur, dan jika gagal bisa beramal Shobr. Semuanya
adalah kebaikan baginya.
Hanya saja, jika lelaki yang
dicintai tersebut haram dinikahi, seperti Mahram, atau musyrik, atau yahudi,
atau nasrani, maka Muslimah tersebut tidak boleh menurutinya dan harus
menghilangkannya karena menikah dengan mereka hukumnya haram dan tidak sah.
(sumber)